Kamis, 09 Desember 2010

Pak, I Love You !


Semua warga SMA Merdeka berduka, setelah kepergian Risman Budiman—guru mata pelajaran Olahraga, akibat serangan jantung. Beliau adalah guru olahraga yang sangat baik. Tidak pernah memaksakan anak didiknya untuk mengikuti mata pelajarannya. Meskipun hal itu kadang dimanfaatkan oleh sebagian siswa yang malas berolahraga.

Namun, dalam waktu 2 minggu, Kepala Sekolah sudah mendapatkan orang yang pantas untuk menggantikan almarhum. Guru Olahraga baru itu adalah alumni dari SMA Merdeka sendiri. Dia fresh graduated dari salah satu Universitas negeri keguruan di Bandung, jurusan Pendidikan Olahraga.

“Wah, guru olahraga baru itu kayak gimana, ya?” tanya Lusi, pada segerombol teman-teman kelasnya.

“Mudah-mudahan aja cakep!” seru Cinta, dengan nada centilnya.

Perbincangan itu tidak menarik bagi Yuna, yang tidak menyukai pelajaran olahraga. Satu-satunya olahraga yang dia kuasai adalah lari. Karena, Yuna adalah salah satu siswa yang sering kesiangan. Maka, keahlian alaminya adalah berlari kencang.

“Hm, mudah-mudahan aja baik kayak Pak Risman!” doa Yuna, dalam hati.

Saat istirahat, semua siswa—khususnya siswi SMA Merdeka, heboh akan kedatangan guru baru yang mulai mengajar pada hari ini.

“Woi! Guru baru itu cakep banget!” teriak Cinta. “Lihat deh, di luar!”

Semua siswi yang sedang ngobrol sambil makan di kelas, langsung berhamburan keluar mengikuti Cinta. Sedangkan Yuna, dia malah membawa sapu dan pengki, lalu menyapukan tanah dari sepatunya di bawah bangkunya. Setelah semua tanah dia masukan ke dalam pengki, dia pun keluar kelas untuk membuangnya ke tempat sampah.

“Permisi!” teriak Yuna, pada Lusi dan Indah yang memblokade jalan sambil menatap ke koridor.

Mereka berdua pun menyingkir. Dengan santai, Yuna pun keluar dan memasukkan tanah dari dalam pengki ke dalam tempat sampah. Pada saat yang bersamaan, guru baru itu sedang berjalan di daerah koridor kelas Yuna. Yuna yang tidak melihatnya, melangkah menuju ke dalam kelasnya.

“Yuna, awas!” teriak Indah.

‘Buk!’

Yuna bertubrukan dengan seseorang. Mereka berdua berhenti, dan saling bertatapan. Lima detik kemudian, lelaki itu kembali berjalan sambil menatap Yuna yang terpaku. Tatapan itu, diakhiri oleh senyum tipis yang memperlihatkan lesung pipitnya. Bagaikan terpanah oleh panah Dewa Amor. Tapi tak lama, Yuna pun kembali sadar.

Saat dia hendak masuk ke dalam kelas, pintu masuk diblokade bukan hanya oleh Lusi dan Indah, melainkan oleh Cinta, Rita, Tiara, Wini, Frisca, dan Lili. Mereka semua berkacak pinggang dengan mata yang melotot dan mulut yang lancip.

“Hah? Kenapa?” tanya Yuna, bingung.

“Kamu pasti jatuh cinta sama dia!” desis Tiara.

Yuna terhentak. “Jatuh cinta? Baru segitu doang, udah dibilang jatuh cinta. Aneh!”

Mereka semua pun akhirnya bernafas lega dan kembali masuk ke dalam kelas. Yuna tak habis pikir akan tingkah teman-temannya yang menggilai guru baru itu. Memang sih, dia itu cakep banget! Kulitnya cokelat, matanya tajam tapi menyejukkan, rambutnya hitam lurus, dan yang paling membuatnya sempurna adalah lesung pipit yang akan muncul saat dia melemparkan senyuman mautnya.

Pada saat jam pelajaran olahraga, semua siswa—terutama siswi langsung berganti seragam dengan seragam olahraga berwarna biru putih. Hari ini, semuanya sangat bersemangat mengikuti pelajaran olahraga. Selain gurunya yang baru dan cakep, mereka pun ingin memberikan kesan pertama yang baik bagi gurunya itu. Setelah selesai berganti pakaian, mereka semua berbaris rapi di lapangan. Tak lama, guru baru itu datang dengan stelan olehraganya serta kalungan peluit di lehernya.

“Selamat pagi!” serunya bersemangat.

“Selamat pagi!” balas murid, tak kalah semangat.

“Perkenalkan, nama saya Wisnu Herdiansyah. Kalian bisa panggil saya Pak Wisnu, atau Pak Herdi. Seperti yang telah diketahui, saya akan mengajarkan kalian olahraga. Selain otak kalian yang harus sehat, jasmani kalian pun harus sehat. Maka dari itu, kalian wajib mengikuti pelajaran saya, kecuali memang benar-benar sakit. Ingat, saya bisa membedakan mana yang sakit pura-pura dan mana yang sakit sungguhan!” gelegarnya.

“Kalau sama Bapak, aku bakalan rajin olahraga!” bisik Cinta, yang di dengar oleh para siswi barisan belakang.

“Dalam berolahraga pun, kalian harus total! Tidak boleh ada yang hanya ikut-ikutan bergerak. Kalian wajib berkeringat! Jika ada yang sakit dan tidak mengikuti pelajaran saya, maka izin hanya berlaku dua kali. Jika ada yang izin lebih dari dua kali, maka saya tidak akan memberikan nilai pada kalian!” tambahnya.

Ini, merupakan ancaman besar bagi Yuna. “Menyebalkan!” katanya, dalam hati.

“Ada yang ingin ditanyakan?” tanya Wisnu.

“Umur Bapak berapa tahun?” tanya seseorang.

“Umur saya duapuluh satu tahun. Pertanyaan yang tidak penting. Baiklah, sekarang saya akan mengabsen nama kalian. Setelah itu, kita mulai!” kata Wisnu.

Wisnu pun mengabsen 42 siswa dengan tertib. Setelah itu, merapikan barisan dan memulai pemanasan. Dari mulai lari keliling lapangan, berlari di tempat, berjalan di udara, gerakan kombinasi, push up, sit up, dan peregangan. Baru pemanasan aja,semuanya sudah berkeringat dan ngos-ngosan. Selesai pemanasan, Wisnu membawa 2 bola basket kemudian dibagikan ke siswa dan siswi. Dia pun membagi 2 lapangan. Sisi barat untuk putri dan sisi timur untuk putra.

“Satu persatu dari kalian harus bisa melakukan tembakan ke dalam ring. Terus sampai bisa. Jika sudah memasukan tiga bola, kalian bisa kembali ke kelas dan istirahat. Tapi jika belum masuk, kalian harus tetap di sini dan terus mencoba memasukan bola hingga masuk. Mengerti?”

“Mengerti!”

“Baiklah,” Wisnu meletakkan peluitnya ke dalam mulut. ‘PRIIIT!!’

Satu per satu dari 42 siswa itu mencoba memasukkan bola ke dalam keranjang. Pekerjaan yang mudah bagi para putra, yang pada umumnya menyukai olahraga. Dalam 15 menit, para putra selesai memasukkan 3 bola ke dalam keranjang. Mereka pun langsung meluncur ke kantin, untuk menikmati jam istirahat ke-2.

Sedangkan para putri, mereka sedikit kesulitan memasukan bola. Tapi tidak bagi siswi yang menyukai olahraga, seperti Desi dan Milda. Satu persatu, para siswi berhasil memasukkan bola sebanyak 3 kali ke dalam keranjang, kecuali Yuna. Hingga akhirnya, tersisa Yuna seorang di lapangan.

“Ayo, berjuang Yuna!” teriak sahabat-sahabatnya, seraya meninggalkannya di lapangan dan pergi ke kantin.

“Huh, dasar! Menyemangati, tapi malah ninggalin!” camnya dalam hati.

Dengan hati yang jengkel, karena tidak satu pun angka yang dia cetak, dia pun semakin kalang kabut memasukan bola. Hingga dia tidak fokus dan bola pun meluncur kemana-mana.

“Yang bener, dong!” teriak Wisnu, yang sedari tadi memanasi telinga Yuna. “Masa kalah sama yang lain?”

“Huh! Dasar!” pekiknya dalam hati.

Sampai Yuna bermandikan keringat, tak satu pun bola yang ia lempar masuk ke dalam keranjang. Hingga akhirnya, dia berhenti. Wisnu pun mendekatinya, sambil tak henti memakinya.

“Kamu itu gimana, sih?! Selama ini kamu belajar apa, huh? Sudah kelas tiga SMA, tidak bisa memasukan angka sekali pun. Payah!”

Ternyata guru ganteng ini, berlidah tajam. Kalau sudah begini, tidak membuat Yuna segan pada guru yang umurnya hanya berselang 4 tahun ini.

“Saya tidak suka olahraga, Pak!” balas Yuna, menggelegar. “Satu-satunya yang saya bisa cuman lari.”

“Berani, ya, kamu ngomong gitu!” Wisnu semakin geli ingin terus memarahinya.

“Kalau saya nggak mampu, kenapa harus bilang mampu?!” balas Yuna, yang sudah naik pitam seraya melemparkan bola basket ke arah Wisnu.

Dalam satu kali tangkapan, Wisnu menangkap bola itu lalu melemparkannya ke dalam keranjang—di belakang Yuna. Dengan mudahnya, bola itu masuk. Hal itu, seakan-akan Wisnu merendahkan Yuna. Mereka berdua saling bertatapan tajam. Hari ini, mereka resmi menjadi musuh.

Tak lama, bel pun berbunyi. Akhirnya, Yuna bisa keluar dari lapangan dengan aman. Saat dia keluar, sesuatu telah dia tinggalkan di lapangan. Sesuatu itu tertinggal dalam hati Wisnu.

Keesokan harinya, seperti biasa, Yuna kesiangan. Membuatnya berlari dari tempatnya turun dari angkutan kota menuju gerbang sekolah. Jam 07.15, gerbang sudah sepi. Sambil terengah-engah, Yuna berhadapan dengan satpam yang melotot sambil geleng-geleng.

“Bapak sampai hafal nama kamu, Yuna!” kata Pak Dadang.

Setelah berhadapan Pak Dadang, Yuna harus berjuang mengahadapi guru yang sedang berjaga di ruang piket, agar diizinkan masuk ke dalam kelas. Sialnya, guru yang sedang berjaga di ruang piket bukanlah guru yang sering memberikannya izin masuk kelas seperti hari biasanya. Guru itu adalah Wisnu Herdiansyah.

Sambil tersenyum, Wisnu menanti kedatangan Yuna di meja piket seolah-olah siap melahapnya.

“Kamu tahu ini jam berapa?” tanya Wisnu.

“Saya tidak punya jam tangan, Pak. Kalau bawa jam dinding, nggak muat di tasnya!” balas Yuna.

Wisnu merasa dirinya dipermainkan. Karena wataknya yang mudah meledak, dia pun geram. “Kalau begitu, kau tidak boleh masuk kelas!”

“Kenapa, Pak? Biasanya aku masuk jam segini, kok! Walaupun saya kesiangan, tapi Pak Arif yang biasanya jaga piket selalu mengizinkan saya masuk kelas.”

“Itu Pak Arif. Bukan saya!” Lalu, Wisnu mengambil selembaran di meja piket, kemudian memperlihatkannya. “Lihat poin nomor satu!”

1. Kegiatan belajar-mengajar dimulai pukul 07.00 WIB. Di luar itu, siswa yang kesiangan diharuskan menunggu setelah jam pelajaran pertama berakhir, lalu diperbolehkan masuk kelas.

“Mengerti?” tanya Wisnu, mematikan Yuna.

Terpaksa, Yuna pun masuk ke dalam ruang piket dan duduk di salah satu kursi. Karena tidak ada kerjaan, dia pun mengeluarkan buku dan pensilnya, lalu mengerjakan PR Bahasa Indonesia yang belum selesai. Ada hikmahnya juga tidak masuk kelas. Selain bisa trhindar dari Matematika, dia pun bisa mengerjakan PR pelajaran selanjutnya yang belum selesai.

“Hm, pelajar yang tidak patut dicontoh!”

“Hm, seperti mantan siswa teladan saja!”

“Awas kau!” kecam Wisnu dalam hati.

Saat pelajaran olahraga pertemuan ke-2, Wisnu habis-habisan mengajarkan voli di gor. Olahraga kali ini, terkesan berubah menjadi latihan militer. Teman-teman Yuna, yang tadinya mengidolakan Wisnu habis-habisan, kini malah jadi illfeel. Sebenarnya, sasaran utama Wisnu adalah Yuna. Satu-satunya murid yang membuatnya jengkel, sekaligus bahagia.

Tapi kali ini, Wisnu terlalu berlebihan. Hingga akhirnya...

“YUNA!!” teriak semua siswa, saat Yuna yang terlihat pucat tergeletak di lantai gor.

Tanpa menunggu perintah, Wisnu pun segera mengangkat Yuna dan membawanya ke ruang UKS. Kegiatan olahraga diakhiri dengan insiden yang tak diduga-duga. Untungnya, kejadian ini tidak sampai ke telinga guru-guru lain dan kepala sekolah.

Petugas UKS, yang pada umumnya adalah anggota PMR SMA Merdeka tidak ada yang menjaga di UKS, jadi Wisnu sendiri yang mengurus Yuna. Untungnya, dia juga belajar P3K di jurusan olahraga. Wajah Yuna memang pucat. Badannya pun dingin. Wisnu pun menyelimuti tubuh Yuna dengan selimut agar tubuhnya menghangat. Kemudian, membuatkan teh manis hangat.

15 menit kemudian, Yuna pun sadar. Perlahan, Wisnu membantu Yuna untuk duduk di atas ranjang. Yuna yang baru sadar, dibuat bingung oleh tingkahnya yang berubah menjadi perhatian.

“Ini minum dulu!” Wisnu menyodorkan segelas teh manis hangat, untuk menaikan gula darah Yuna.

Yuna pun meminumnya dan merasakan air itu mengalir hangat di tenggorokkannya. “Terimakasih,” katanya, ragu.

Kali ini, Wisnu dapat menurunkan gengsi dan egonya. “Maafkan saya. Saya sudah keterlaluan padamu!”

Yuna menatap aneh. “Bukan sama saya aja, Pak. Tapi sama temen-temen juga!”

“Iya, saya minta maaf! Lain kali, saya akan lebih memperhatikan kondisi fisik kalian semua.”

Yuna pun mengangguk. “Maafkan saya juga. Karena akhir-akhir ini, saya kurang ajar sama bapak!”

“Iya, tidak apa-apa. Saya sudah menganggap kamu, seperti adik saya sendiri.”

Mereka berdua akhirnya berdamai.

“Uhh!!! Dasar Yuna! Hobinya bikin sirik orang aja!” geram semua siswi yang mengintip di balik jendela UKS yang terbuka lebar.

Sepulang sekolah, Yuna dikejutkan oleh seseorang yang memberhentikan motornya di depan Yuna. Seseorang itu berpakaian training dan berhelm hitam. Kaca helm itu terbuka dan terlihat sepasang mata tajam yang menyejukkan.

“Pulang ke mana?” katanya.

“Ke rumah,” jawab Yuna, polos.

“Rumahmu di mana?”

“Ke daerah Patriot.”

“Ayo naik, saya antarkan!”

Kejadian itu terjadi beberapa blok dari area sekolah. Sambil menyelam minum air, tiarap makan rumput, Yuna pun mengikuti ajakan Wisnu. Ini, adalah awal dari perdamaian mereka. Mereka membiarkan hal ini terjadi dan mengalir dengan sendirinya. Tanpa sadar, membuat bibit cinta bertaburan di dalam ladang hati mereka. Terus mereka sirami dan hangati, hingga akhirnya berbunga cinta.

Tapi mereka sadar, status guru dan murid membuatnya lebih menjaga diri. Yang jelas, Yuna berhasil membuat iri ratusan fans Wisnu se-SMA Merdeka, yang mengetahui perasaan mereka berdua. Sebenarnya, hal itu dirahasiakan. Tapi, keduanya tidak dapat membohongi mata-mata itu.

Seperti saat ini, selesai pelajaran olahraga, Wisnu sengaja membelikan minuman untuk Yuna. Dengan mata yang penuh rasa iri, Cinta dan Lusi memperhatikannya dari jauh. Melihatnya, membuat Yuna jadi geli dan gatal untuk membuat mereka patah hati. Saat Wisnu beranjak, Yuna berteriak lembut, tapi dapat didengar oleh yang menguping.

“Pak, I love you!”

Wisnu berbailk. “I love you too!” balasnya, dengan senyuman mautnya.

Cinta dan Lusi saling bertatapan sedih. “HUAAAA!!!!”

Yuna dan Wisnu terkekeh, melihat tingkah Cinta dan Lusi.

~ the end ~

3 komentar:

  1. Sangat Menyukai Ran. TOP BGT.
    ayo, ayo, ayo, lanjutin lagi ceritanya, seru banget... :D

    BalasHapus
  2. suka ranti, suka catatan ranti, meskipun yaaa,terlalu sederhana sebagai cerpen yang dibuat oleh seorang ranti eka pratiwi !

    BalasHapus
  3. meni asa lucu.. karya zaman bareto..

    BalasHapus