Rabu, 15 Desember 2010

I'm So Sorry but I Love You


Big Bang Fiction :
Inspired by Lies


“Hey! Berhenti!”
Pria itu tak menghentikan larinya. Semakin dikejar dan diteriaki, semakin kencang larinya. Dengan nafas yang hampir habis, dia berusaha berlari lebih cepat dan mencoba mengelabui gerombolan pria berseragam yang sedari tadi mengejarnya. Saat dia melihat tikungan tajam, dengan cepat dia membelokkan tubuhnya dan masuk ke box telepon umum.
“H....h...h...,” pria itu mengatur nafasnya, sebelum mengangkat gagang telepon dan menekan angka.
“DRRRRTTT .. DRRRTT..”
Dengan panik, wanita cantik itu mengeluarkan segala isi tasnya dan meraih ponsel yang sedari tadi bergetar. Panggilan tanpa nama, membuatnya gugup untuk mengangkatnya. Perlahan, dia tekan tombol hijau.
“Halo?”
Tak ada jawaban bahkan suara. Tapi, telepon masih tersambung.
“Halo? Halo?” wanita itu menghela nafas berat dan akhirnya memutuskan sambungan.
Pria itu langsung diseret oleh segerombolan yang mengejarnya tadi. Telepon yang ada di tangannya langsung terlepas begitu saja. Saat keluar dari box telepon, pria itu langsung diborgol dan dibawa paksa ke dalam mobil dinas. Kali ini, dia pasrah dan tidak berontak. Mungkin, inilah bukti pengorbanannya pada seseorang yang sangat dia cintai.
Setelah mendapat telepon yang tak jelas itu, wanita itu semakin stress dan tak bisa berdiam diri di kamar hotelnya. Karena tidak tahan dengan berbagai pikiran yang seakan membunuhnya, dia pun keluar untuk mencari udara segar. Meskipun raganya berjalan, tapi pikirannya tidak. Pikirannya masih tertuju pada suatu kejadian yang membuatnya pindah dari rumah dan menyewa hotel di pinggiran kota. Suatu kejadian yang membuat hidupnya yang berantakan semakin berantakan.
Sampai di basement, dia masuk ke dalam Volkswagen klasiknya dan kembali terdiam. Tak ada ide sama sekali untuk menghabiskan waktu sore yang seakan menyesakkan ini. Tanpa arah dan tujuan, akhirnya dia memacu mobilnya keluar dari hotel dan berkeliling mengelilingi kota.
Saat menemukan swalayan, dia pun turun dan mencoba mengalihkan pikiran dengan berbelanja. Dengan troli yang kosong, dia terus berkeliling swalayan hingga membuat para pelayan curiga dengan tingkahnya. Menyadari hal itu, dia pun langsung memasuk-masukkan barang-barang yang dia lihat ke dalam troli—meskipun dia tidak membutuhkan barang itu sama sekali. Setelah selesai, dia pun membayarnya di kassa dan pergi.
Kembali, dia berkeliling mengitari kota hingga hari semakin larut. Pandangannya tertuju pada sebuah diskotik. Mungkin, dengan minuman dia dapat melupakan kejadian itu. Setelah memarkirkan mobilnya, dia pun masuk ke dalam diskotik dan memesan minuman keras dengan kadar alkohol yang tinggi.
“Seorang pembunuh berhasil di tangkap oleh tim gabungan dari Kepolisian Shibuya. Terdakwa berinisial G-D terpergok tengah membuang mayat ke tempat sampah oleh salah seorang warga setempat. Warga itu pun langsung melaporkannya ke polisi dan para polisi bergerak cepat menangkapnya. Setelah diotopsi, pihak penyidik menemukan luka benda tumpul di tengkorak korban yang berhasil memecahkan otak kecilnya. Korban pun tewas seketika. Setelah ditangkap dan diinterogasi, terdakwa ternyata mengakui bahwa dialah pembunuhnya sehingga memudahkan pihak kepolisian dalam penyelidikan. Kasus ini dengan segera akan diajukan ke pengadilan. Sekian, kilas berita bersama saya, Koda Tanaka.”
Berita itu disiarkan oleh stasiun TV nasional yang mengudara ke seluruh penjuru negeri Sakura. Berita itu langsung menjadi headline dan kabar yang paling up to date. Setelah dikeluarkan dari kantor Kepolisian Shibuya, G-D yang telah berseragam tahanan segera digiring ke mobil tahanan untuk dimasukkan ke rumah tahanan Shibuya. Blitz kamera dari puluhan wartawan segera membanjiri rombongan tahanan. Berbagai pertanyaan yang saling menghujam bertubi-tubi, tapi G-D tetap bungkam. Wajahnya berhasil diabadikan para wartawan.
Sudah sepuluh gelas licin tandas dari hadapan wanita itu. Meskipun sudah sebanyak itu, entah kenapa dia masih tetap terjaga. Pikirannya mengenai kejadian itu semakin menghantui. Di lantai dansa, dia menggerakkan tubuhnya dengan sempoyongan tapi pikirannya masih fokus dalam kejadian itu. Dirinya sama sekali tidak larut dalam suasana diskotik.
Karena tidak ada yang dapat dilakukannya lagi, tanpa menunggu lama dia segera keluar dari diskotik dan mengemudikan mobilnya. Mungkin, dengan mengemudi selagi mabuk dapat mempermudahnya untuk melupakan segala-galanya. Namun entah mengapa, jalanan tertib sekali malam ini. Dia pun pasrah dan merelakan pikirannya tetap tertuju pada kejadian itu. Beberapa lama kemudian, dia menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah kecil yang hanya diterangi lampu ruang tengah yang mulai remang.
Dahulu, rumah ini adalah rumah yang penuh kebahagiaan dan cinta. Dia bersama seseorang yang ia cintai, merajut kisah kasih indah di dalam rumah ini. Tapi, itu dahulu. Bukan sekarang. Sekarang, rumah ini bagaikan rumah kosong yang berantakan dan berhantu.
Lelaki yang ia cintai itu mulai berkelakuan aneh saat menginjak tahun yang kedua mahligai rumah tangganya. Lelaki itu sering pulang malam dalam keadaan mabuk. Atasannya pun dengan mudahnya memecat lelaki itu dengan alasan ketidakdisiplinan. Persediaan uang yang ada, selalu dia hamburkan untuk berjudi dan mabuk.
“SUDAHLAH! CARI PEKERJAAN BARU! JANGAN SEPERTI INI LAGI !” seru wanita itu, saat mendapati suaminya pulang dalam keadaan mabuk.
“KAMU TIDAK TAHU APA-APA! TAK USAH MENGATURKU!!” balas lelaki itu lebih emosi.
“Aku sudah tidak tahan melihatmu seperti ini! Selalu menghambur-hamburkan uang dan pulang seperti ini! SAMPAI KAPAN? SAMPAI KAPAN?!!”
“AAAHH DASAR KAU !!”
‘PLAK!’
Tamparan itu berhasil memanasi pipi kiri wanita itu sampai dia tersungkur di lantai. Tamparan pertama yang berhasil meremukkan hatinya dan menghapuskan rasa cintanya selama ini. Tak sampai di situ, lelaki itu dengan emosinya kembali menampar istrinya di pipi kanannya, lalu menjambak rambutnya. Darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Sambil menangis dan meringis kesakitan, dia memohon pada sumianya untuk menghentikan kekerasan ini. Setelah puas, lelaki itu pun menghempaskan istrinya di lantai dan masuk ke dalam kamar.
Kekerasan itu berlangsung pada malam-malam selanjutnya. Pernikahannya benar-benar menjadi mimpi buruk. Sampai akhirnya, wanita itu bertemu dengan seorang penjaja koran pagi. Penjaja koran pagi itu, satu-satunya pihak luar yang mengetahui kekerasan rumah tangganya. Karena hanya dialah lelaki yang mau mendengarkan apa yang dia rasakan. Hanya lelaki itu yang menghangatkan hatinya yang mulai dingin.
“Berikan aku uang!”
Wanita itu melihat suaminya yang lagi-lagi seperti itu. “Tidak ada.”
“APA KAU BILANG?!”
“SUDAH TIDAK ADA UANG! UANG INI HANYA UNTUK MEMBAYAR SEWA RUMAH!”
“SUDAH BERIKAN SAJA!”
Lelaki itu pun merebut dompet istrinya dan menampar istrinya lagi. Rasa sakit yang selalu dia dapatkan darinya. Setelah mendapatkan yang ia inginkan, dia pun pergi entah kemana. Sambil menangis, wanita itu memegang pipi bekas tamparannya. Tak lama, seseorang datang dari balik pintu. Orang itu, G-D –Sang Penjaja Koran.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya, dengan keadaan panik sekaligus prihatin.
Wanita itu menatap G-D dan memeluknya. “Aku... aku sudah tidak tahan lagi. Bawa aku pergi dari sini. Kumohon!”
G-D tak dapat memungkiri perasaannya, yang memang benar-benar mencintai seorang wanita yang telah bersuami. “Besok sore, saat suamimu tak ada di rumah, aku akan membawamu pergi sejauh yang kau mau.”
Wanita itu menatap G-D, dalam. “Sungguh?”
G-D mengangguk pasti.
Keesokan harinya, saat dia sedang bersiap-siap untuk pergi tak disangka-sangka suaminya pulang lebih awal. Dia menatap istrinya yang sudah cantik dengan barang-barang yang beres dikemas, dia pun kembali berang. Dia sudah mencium bahwa istrinya akan pergi meninggalkannya.
“MAU PERGI KE MANA KAU?!”
Karena tak dapat mengelak lagi, wanita itu pun menjawab. “PERGI DARI HADAPANMU!”
“DASAR ISTRI TIDAK TAHU DIRI !!”
‘PLAK!!’
Lagi-lagi, pukulan demi pukulan dia hantamkan pada makhluk lemah di hadapnnya. Sekuat apapun wanita itu memberontak, tetap saja tenaganya tak dapat menandingi kekuatan suaminya. Kepalanya mulai pening dan darah keluar dari mana-mana. Perlahan, lengannya meraih seseuatu. Sesuatu yang ada di atas meja kecantikan—tak jauh dari ranjang tempatnya disiksa.
Setelah meraih sebuah vas bunga dari tanah liat, dia pun segera mengehempaskannya pada kepala suaminya—membuat suaminya berhenti menyiksa. Saat-saat itu, dia manfaatkan untuk terlepas dan berbalik menjatuhkan suaminya ke atas lantai. Saat suaminya tersungkur, dengan membabi buta dia memukulkan berkali-kali vas bunga itu ke atas kepala suaminya sampai vas benar-benar hancur dan suaminya tak bergerak sedikitpun.
Kini darah mengalir bukan dari tubuhnya, melainkan dari tubuh suaminya yang tergeletak di atas lantai. Apa yang dia lakukan benar-benar di luar kesadarannya.
Seseorang membuka pintu dan mendapati wanita berwajah lebam sedang duduk lemah di hadapan mayat suaminya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya G-D panik.
Wanita itu tak menjawab.
Dengan segera, G-D masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Setelah lama berpikir, dia pun mengangkat wanita yang terduduk di lantai itu dan menariknya keluar dari ruangan.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya wanita itu.
“Aku akan mengurus mayatnya. Kamu pergilah!”
“Tidak! Aku tidak akan pergi meninggalkanmu di sini!”
G-D menatap wanita yang ia cintai, lalu mengecup dahinya. “Aku mencintaimu. Aku tidak akan membuatmu menderita lagi. Kumohon, pergilah!”
“Tapi...”
Terpaksa, G-D pun menyeretnya keluar ruangan dan menutup pintu rapat. Keputusannya melakukan langkah ini sudah bulat dan tidak dapat diganggu lagi. Dia mengambil darah mayat lelaki itu dan mengoleskannya ke seluruh kaos utih yang ia kenakan, begitu juga ke wajah, tangan, dan lehernya. Setelah itu, dia mengurus mayatnya.
Kejadian itulah yang sedari tadi berputar di benak wanita itu. Di kamar utama itu, tempatnya dia menjadi seorang pembunuh. Perlahan, dia membuka daun pintu dan melihat mayat sudah tidak ada di tempat. Darah yang seharusnya berserakan pun, kini sudah tidak nampak. Tapi, di lantai terdapat gambar siluet yang menggambarkan dengan detil posisi mayat saat ditemukan.
“Apa maksudnya? Apa jangan-jangan....Akh!”
Dengan cepat, dia berlari keluar dari rumah dan mengendarai mobilnya kembali. Saat di perempatan, televisi besar yang terpampang tengah menayangkan berita pembunuhan dan wajah pembunuh itu terlihat jelas. Dia adalah G-D.
“Akh! Apa dia mengorbankan dirinya demi aku? Jadi, ini yang dia lakukan setelah menyuruhku pergi?”
Dengan cepat, dia memutar stir dan memacu gasnya ke penjara kota Shibuya. Sesampainya di dalam penjara, dengan segera dia meminta petugas untuk mempertemukannya dengan G-D. Setelah mendapat izin, dia pun diperbolehkan masuk ke dalam ruangan sepi. Ruangan yang mana hanya dibatasi oleh kaca tebal yang berlubang kecil. Di sana, dia melihat G-D berdiri dengan seragam tahanan.
Hatinya benar-benar terenyuh. Sambil menangis, dia maju mendekati G-D. Kini, mereka berdua berdiri berhadapan. Tangan mereka saling bertemu di atas dinding kaca.
“Apa yang kau lakukan?” tanya wanita itu.
“Aku, aku hanya ingin membuatmu tidak menderita lagi,” kata G-D lembut.
“Apa yang kau lakukan saat ini, malah semakin membuatku menderita. Aku tidak ingin melihat seseorang yang aku cintai, berkorban demi seorang pembunuh sepertiku!”
“Sssttt.. jangan bicara itu terlalu keras!”
“Tidak. Aku akan menyerahkan diri ke polisi sekarang juga!”
“Tunggu! Jangan!” henti G-D. “Jangan pernah kau lakukan itu!”
“Kenapa? Akulah yang pantas berada di tempatmu sekarang!”
“Karena aku mencintaimu! Aku menyesal, tapi aku mencintaimu. Jika kau tetap melakukan itu, sampai kapanpun aku tidak akan memaafkanmu!” ancam G-D, akhirnya.
Wanita itu semakin menangisi kebodohannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia temukan seseorang yang mencintainya dengan tulus sampai mengorbankan seluruh hidup dan masa depannya seperti ini.
“Dengar, semua ini akan berlalu. Everything is gonna be alright, isn’t it? Tunggulah aku sampai aku keluar dari tempat ini.”
“Sampai kapanpun aku akan tetap menunggumu. Selama apapun kau ada di sini, cintaku padamu tidak akan pernah berubah.”
G-D tersenyum, “Aku mencintaimu.”
Wanita itu menunduk. “Aku pun mencintaimu.”
Tak lama, seorang petugas datang dan memberitahukan wanita itu untuk pergi karena waktu berkunjung sudah habis. Malam itu, mereka berpisah di antara dinding kaca tebal. Entah berapa lama G-D akan berada di tempat itu. Selama apapun itu, Naomi akan selalu menunggu dan menanti kedatangan G-D kembali.
~ the end ~

2 komentar: