Rabu, 01 Februari 2012

Antara Takdir dan Do’a



Assalam, sahabat. Saya menulis ini hanya sekedar ingin menuangkan pikiran dan berbagi pemikiran. Bagi sahabat yang tidak satu pemikiran dengan saya, dapat memberikan gagasannya dan saya dengan senang hati akan menerima dan pemikiran saya pun akan lebih terbuka. ^_^
Saat ini saya sedang ingin menulis tentang misteri takdir dan doa. Dalam Al-Qur’an, takdir setiap manusia yang ada di muka bumi ini telah tertulis di Lauh Mahfudz. Semuanya telah dituliskan oleh Sang Maha Kuasa nan Perkasa seantero jagad, yakni Allah SWT. Hidup, rezeki, umur, sehat, sakit, suka, duka, jodoh, bahkan sampai mati pun telah diatur sedemikian rupa oleh-Nya.
Lalu, untuk apa kita berusaha dan beribadah di dunia ini? Untuk apa pula kita berdoa? Menurut bahasa, doa diartikan sebagai permohonan. Dalam hal ini adalah permohonan kepada Allah SWT. Dalam doa, apa yang sering kita panjatkan? Saya pastikan sahabat semua termasuk saya, berdoa seperti ini :
“Ya Allah, berilah hamba umur yang panjang, badan yang sehat, rezeki yang melimpah, jodoh yang sempurna, kehidupan yang bahagia, dijauhkan dari berbagai penyakit, dan matikan hamba dalam keadaan husnul khotimah.”
Doa yang kita panjatkan tiap waktu tersebut adalah keinginan setiap manusia. Akan tetapi, bukankah segalanya sudah tertulis di Lauh Mahfudz? Untuk apa kita berdoa seperti itu, kalau toh hal itu tidak tertulis dalam Lauh Mahfudz kita? Salahkah kita bila berdoa seperti itu? Lalu apakah dengan berdoa seperti itu dapat merubah apa yang telah dituliskan untuk kita?
Astaghfirullahal’adzim.. Itulah yang sering terlintas dibenak saya, saat saya dihadapkan dengan masa-masa sulit dan berat dalam kehidupan yang bagaikan labirin kawat ini. Saya sebut hidup ini bagaikan labirin karena hidup ini berputar-putar yang entah dimana garis finishnya, seperti labirin. Lalu saya menambahkan kata ‘kawat’ karena dinding kehidupan ini sulit ditembus. Jika ditembus dengan paksa, maka tubuh kitalah yang akan menjadi korban goresannya.
Maha Besar Allah dengan segala kekuatanNya. Dengan karuniaNya, Dia masih memberikan saya waktu untuk mengitari labirin kawat sampai detik ini. Seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman, berkembangnya pemikiran dan kedewasaan, meluasnya jaringan pertemanan, serta berkembangnya zaman di labirin kawat ini, Dia ‘mulai membuka mata hatiku dengan perlahan’.
Saat bulan Ramadhan tahun 2009, saya bersama beberapa sahabat pernah mengikuti seminar Ramadhan di salah satu mesjid di kampung Naringgul, Cipanas. Di hari terakhir, saya mendengarkan tausiah dari seorang Ustadz. Para peserta seminar saat itu, mungkin hanya beberapa orang saja yang fokus mendengarkannya. Kemudian ada salah seorang peserta yang bertanya pada beliau (pertanyaannya tidak begitu saya hiraukan). Beliau pun menjawab pertanyaannya dengan penjelasan panjang lebar yang merambah ke pembicaraan tentang takdir. Itulah yang menarik perhatian saya.
Dari penjelasannya dapat saya tangkap bahwa takdir itu ada 2, yakni qodo dan qodar (semuanya pasti sudah pada tahu, kan?). Qodo adalah takdir yang tidak dapat diubah, sedangkan qodar adalah takdir yang dapat diubah. Qodo telah tertulis jauh sebelum kita lahir dan tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan qodar dapat kita atur sesuai dengan tekad kita untuk membuatnya menjadi lebih baik.
Lalu, menurut beliau pula takdir (qodo dan qodar)itu bagaikan sebuah pohon yang memiliki ranting-ranting. Jika kita memilih dahan yang baik, maka kita akan menyusuri ranting-ranting yang baik. Namun jika kita memilih dahan yang buruk, maka kita akan menyusuri ranting-ranting yang buruk pula.
Beliau memberi sebuah penjelasan lebih dekat, jika kita memilih menjadi seorang pemabuk, maka hidup kita akan sengsara, jodoh kita tidak akan ideal (mana ada yang mau menikah dengan pemabuk?), tubuh kita menjadi sarang penyakit, rezeki kita akan menyusut, bahkan mati pun akan lebih cepat malah jadi mati konyol. Tapi jika kita menjadi seorang yang pintar mengelola kehidupan dunia dan akhirat atau menjadi orang baik-baik, maka hidup kita pun akan menjadi lebih baik, jodoh kita akan datang dengan sendirinya pada waktu yang tepat, tubuh serta jiwa kita menjadi sehat dan kuat (karena dapat menyelaraskan kesehatan jasmani dan rohani), rezeki yang cukup akan kita syukuri dengan nikmat, bahkan mati pun dapat dimungkinkan husnul khotimah. Insya Allah...
Jadi dapat disimpulkan bahwa takdir kita tergantung pada pilihan yang kita ambil. Inilah keistimewaan manusia selain diberi akal, manusia pun diberikan pilihan. Jika kita ingin mendapatkan takdir yang baik, maka kita harus memilih pilihan yang baik. Jika kita ingin takdir kita buruk,maka pilihlah jalan yang buruk.
Saya memiliki persamaan lain. Jika kita tidak ingin sakit perut, maka belilah makanan yang sehat. Jika kita ingin sakit perut, maka belilah makanan yang basi. Meskipun makanan yang sehat itu harganya lebih mahal dan makanan basi itu harganya jauh lebih murah. Dengan kata lain, setelah kita memilih maka kita akan mendapatkan tantangan baru. Saat memilih makanan sehat, tantangannya adalah harga yang mahal. Saat memilih makanan basi yang jauh lebih murah, tantangannya adalah sakit perut yang mungkin berakhir muntaber. Jadi kembali lagi kepada kita sebagai penentu takdir kita.
Tapi, itu semua tidak semudah kita mengambil keputusan. Masih ada campur tangan Allah SWT. Beberapa paragraf yang telah saya tulis adalah tentang takdir dan pilihan. Sekarang, saya akan membicarakan tentang kaitannya dengan doa.
Sebaik apapun kehidupan yang kita jalani, pasti ada lika-liku dan bebatuan terjal yang menghadangnya. Seringkali kita berharap lebih dari apa yang telah kita capai, tapi jika Dia bilang ‘Tidak’ maka harapan itu tidak akan tercapai. Menurut saya, yang paling utama agar kita dapat meraih apa yang kita inginkan adalah keridhoan Allah SWT, agar Dia senantiasa mengabulkan setiap doa kita.
Ingatlah Tuhan kita memiliki sifat-sifat mulia yang tak terhingga. Dia adalah Sang Maha Pengasih dan Maha Cinta. Kasih sayangNya kepada hambaNya sangatlah melimpah. Yang kita butuhkan dalam menjalani kehidupan dunia ini adalah kasih sayangNya. Di saat atasan sayang kepada anak buahnya, maka anak buahnya tersebut akan dengan mudah naik pangkat. Kita dan Allah SWT pun harus seperti itu. Saat Allah SWT sayang pada kita, maka akan dengan mudahnya kita menjalani hidup ini karena dialah yang memiliki kekuasaan atas hidup ini. Lantas, bagaimana cara mendapatkan kasih sayangNya?
Jawabannya, jadilah hamba yang tulus ikhlas mengharap ridhoNya dalam setiap kegiatan yang kita lakukan. Baik itu yang bersifat hablum minallah maupun hamblum minannas. Selalu taat dan bersabar dalam menjalani kehidupan. Jadilah muslim yang taqwa. Ketahuilah sahabat, saya menulis demikian bukan berarti saya sudah menjadi hamba yang seperti itu. Saya menuliskannya dari sebuah referensi. Seringkali saya goyah bahkan terjatuh, datang dan pergi, belum istiqomah. Saya sedang menjalani proses menuju istiqomah dan menjadi muslimah yang taqwa. Semoga saya bisa dan harus bisa! Aamiin..
Dalam sebuah novel, saya mendapatkan pencerahan tentang takdir dan doa. Dan ternyata doa yang kita panjatkan selama ini tidak tepat dipanjatkan karena pada akhirnya Allah-lah yang menentukan. Misalnya, kita berdoa agar kita diberikan jodoh yang sempurna secara fisik dan finansial, cageur bener pinter, tapi jika Allah telah menumbuhkan cinta kita pada orang yang tidak sesempurna yang kita inginkan, maka standar keinginan dalam doa kita tidak terpenuhi. Kalau boleh, saya bilang doa kita gagal.
Ada kalimat yang sangat kusukai dalam sebuah novel favorit saya, seindah apapun kita merancang skenario hidup kita di masa depan, jika Allah bilang ‘tidak’ maka semuanya tidak akan terjadi. Yang dapat kita lakukan hanyalah berdoa atau memohon agar skenario kita sejalan dengan skenarioNya.
Akhirnya setelah saya menuliskan serangkaian peristiwa bermakna dan bermain dalam pemikiran-pemikiran logis, doa saya kepada Allah menjadi berubah.
“Ya Allah, berikanlah yang terbaik pada hamba. Kasihanilah hamba dengan kasih sayangMu yang melimpah. Semoga apa yang Kau tuliskan untuk hamba di Lauh Mahfudz adalah takdir yang hamba inginkan.”
Doa adalah kekuatan setiap hamba Allah. Dengan doalah seorang hamba berdialog dengan Allah. Allah sangat menyukai hamba-hambanya yang berdoa. Dalam Hadist Qudsi terdapat sebuah keterangan bahwa Allah malu tidak mengabulkan doa hambaNya. Setelah kita berdoa,maka kita pun harus memperlihatkan kepada Allah bahwa doa kita pantas untuk dikabulkan, dengan perbaikan sikap kita. Setelah itu, maka tunggulah jawaban doa kita. Cepat atau lambat, yang pasti Allah akan mengabulkan doa kita di saat yang tepat.
Dalam novel yang sama, saya kembali mengutip kalimat luar biasa, Allah adalah Raja bagi setiap hambaNya. Dia bisa saja menjentikkan jariNya untuk menghasilkan keajaiban besar bagi hambaNya yang membutuhkan. Allah selalu menjawab doa kita dengan caraNya yang teramat indah.
Alhamdulillah, saya telah meluapkan segala pemikiran saya. Sebagai manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan, saya mohon maaf apabila saya keliru. Tentang kebenaran misteri takdir dan doa, hanya Allah SWT-lah yang lebih mengetahui.
Wallohualam bishawab ...
Wassalam^^

Jumat, 27 Januari 2012

Rindu



Langit, aku sedang merindu. Dikala rindu ini menyerang, seluruh tubuhku melemah.
Bagaikan alat elektronik yang mengalami pengurangan daya.
Bagaikan burung yang kehilangan salah satu sayapnya.
Bagaikan jasad tanpa nyawa.
Mataku tak melihat apa yang ada di hadapannya, melainkan melihat apa yang ada di benakku.. kenangan kebersamaan itu begitu nyata dan terlihat. Lagu-lagu cinta mengalun merdu tak kenal waktu dan tempat. Suaranya, terdengar begitu jelas membisik ke dalam hatiku.
Angin, tolong sampaikan padanya bahwa aku, di sini, merindunya.
Angin, tolong bisikkan padanya bahwa aku tidak sabar menantinya.
Awan, tolong bawalah aku melayang bersamamu dan antarkan aku padanya.
Sungguh, ingin kudekap dirinya dan kuleburkan segala rindu dengan air mata.
Di sela-sela tangisku, akan kubisikkan, "Jangan tinggalkan aku lagi, Ma!"

Sabtu, 21 Januari 2012

Ketidakbiasaan



Aku adalah wanita biasa-biasa saja dengan kehidupan yang yaaa sebenarnya tidak biasa, akan tetapi sebisa mungkin aku buat seolah kehidupanku adalah kehidupan yang biasa.
Kemudian kebiasaanku ini berubah menjadi sesuatu. Ketidakbiasaan itu terjadi setelah kamu datang di hidupku.
Tanganmu yang memberanikanku untuk hidup keluar dari kebiasaan.
Dengan peganganmu yang erat, aku pun melangkah mencoba peruntungan.
Berbagai goncangan dan badai datang silih berganti hingga membuatku semakin ragu.
Tapi tatapanmu, meyakinkanku.
Pelukanmu, memberiku kekuatan.
Ciumanmu, memberiku harapan.
Cintamu, memberiku semangat.

Ternyata dunia ketidakbiasaan yang kumasuki adalah dunia baru yang membuat mataku semakin terbuka bahwa di luar sana banyak ketidakbiasaan yang lebih tidak biasa yang harus diperbaiki. Jalan yang kuambil denganmu ini membuatku semakin dewasa dan semakin mengerti tentang hidup di luar sana.
Bersamamu, kuarungi ketidakbiasaan ini. Cintamu yang tidak biasa, membuatku semakin hari menjadi semakin gila. Kau pun membuatku semakin hari semakin haus akan cintamu yang bagaikan tetesan air embun di padang pasir-menyejukan di tempat yang tepat.
Aku tahu, kau tidak menjerumuskanku untuk hidup dengan ketidakbiasaan seperti hidupmu. Kau hanya bertanya, "Kau mau ikut atau tidak? Kalau kau ikut, aku pastikan kita akan bahagia bersama. Kalau kau tidak mau ikut, biarlah kau hidup dengan tenang di duniamu yang biasa dan aku hidup tidak bahagia di duniaku yang tidak biasa, karena kebahagiaanku hanya akan ada jika kau ada"
Langit, tolong sampaikan salamku padaNya.
Sampaikan pula ucapan terima kasih dan rasa syukurku akan takdir yang Dia tuliskan untuk kemudian aku pilih.
Semoga, aku tidak salah memilih. Sampai saat ini, aku tidak pernah menyesal memilih untuk ikut ke dunia yang tidak biasa bersamanya...

Jumat, 31 Desember 2010

My Secret Love


Nggak ada yang tahu kalo gue suka sama dia. Dia yang selalu duduk di bangku belakang gue, dia yang suka ngobrol seperlunya sama gue, dia yang tingkahnya nggak menjadi pusat perhatian di kelas, dia yang cinta banget sama sepak bola, dan dia yang cinta banget sama ibunya. Gue suka dia dan nggak ada yang tahu kalo gue suka sama dia, termasuk dia.
Sebenernya, gue sering ngeliatin perasaan gue ke dia lewat tingkah gue. Tapi karena sifat gue yang lebih banyak nggak seriusnya dan hobi gue yang suka bercanda, jadinya dia ngebales hal yang sama tanpa gue tahu apakah dia serius atau nggak.
“Heh, gue suka sama lo!” kata gue.
“Gue juga!” bales dia sambil ngelengos gitu aja.
“Huh, beneran nggak ya?” pikir gue.
Bulan puasa lalu, kelas gue ngadain buka puasa bareng di rumah salah satu temen sekelas gue. Acaranya pas terakhir hari masuk sekolah sebelum libur lebaran. Dia punya paviliun yang sering dipake buat acara kumpul bareng temen sekelas.
“Temen-temen, sesuai kesepakatan uang yang mesti dikumpulin ke bendahara cuman delapanbelas ribu, udah termasuk takjil dan paket ayam bakar. Jam lima sore besok, kalian semua harus udah pada ngumpul di rumah gue. Oke?” seru Putri, saat jam kelas kosong.
“Ra, lo ikutan kan?” tanya Lisa, temen sebangku gue.
Gue jawab, “Nggak tahu. Kalo gue ikut, gue bingung pulangnya gimana.”
“Iya ya, rumah lo kan paling jauh dari pusat kota, apalagi dari rumah Putri. Dasar anak gunung, sih!” goda Lisa.
Gue otomatis manyun. “Huh!”
“Eh, gimana kalo lo nginep di rumah gue aja?” tawar Lisa.
“Kalo dipikir-pikir, nginep di rumah lo boleh juga. Tapi gue takut ngerepotin pas entar sahurnya. Gue nggak enak sama keluarga lo!” kata gue.
“Kalo gitu, nyari jemputan aja!”
“Hm.. adek gue mana berani ngejemput gue jauh-jauh. Apalagi acaranya malem jumat. Dia kan, parno banget!”
“Minta bantuan temen-temen aja. Siapa, kek, yang berani dan tulus nganterin lo sampe rumah. Nggak punya pacar sih, lo! Kalo aja punya, lo pasti nggak repot nyari kurir anter-jemput!”
“Emangnya lo sendiri punya pacar apa? Kalo niatnya buat anter-jemput sih, apa bedanya sama tukang ojek?”
“Haha.. bisa aja lo! Eh, gue ke toilet dulu ya. Nggak kuat, nih!” akhir Lisa, kocar-kacir.
Kalo udah ada acara kayak gini, gue jadi bingung minta jemputan sama siapa. Andai aja rumah gue nggak nyempil di ujung kota, pasti nggak bakalan masalah. Jika nggak ada alternatif solusi lain, kemungkinan terakhirnya gue nggak bakalan ikutan acara buka bareng ini. Tapi sayang banget kalo nggak ikutan. Soalnya, ini acara buka bareng terakhir sama temen sekelas. Tahun depan mungkin kita semua udah pada nyebar di berbagai universitas.
“Irfan, lo ikutan acara bubar nanti, kan?” tanya Zulmi, temen sebangku Irfan.
“Um.. gue nggak tahu, soalnya malem itu pas banget sama acara keluarga gue!” jawab Irfan yang duduk di bangku belakang gue.
“Pokoknya lo harus ikut, ya! Sayang kalo lo nggak ikut!” akhir Zulmi, sambil ninggalin Irfan di bangkunya.
Gue berbalik ke belakang dan liat mukanya Irfan yang cakep. “Lo jadi ikut?”
“Um... nggak tahu, bisa iya bisa nggak,” jawab Irfan. “Lo sendiri?”
“Gue juga nggak tahu. Gue bingung entar pulangnya gimana. Solusi pertama gue nginep di rumah Lisa, tapi gue nggak mau ngerepotin keluarganya di bulan puasa. Solusi kedua gue bayar tukang ojek buat nganterin sampe rumah, tapi gue nggak tahu mesti bayar berapa. Solusi ketiga nyari pak haji buat nyeramahin adek gue dan ngeyakinin adek gue kalo bulan puasa itu nggak ada setan yang gentayangan, tapi gue nggak yakin bakalan berhasil. Solusi keempat, gue nggak dateng ke acara bubar,” jelas gue panjang lebar.
Irfan ketawa renyah. “Gimana kalo lo pilih solusi yang ke lima?”
“Hah? Apa?”
“Lo dateng ke acara bubar, terus pulangnya dianterin sama gue?”
Serasa hujan duit di musim paceklik. “Yang bener lo?”
“Iya, kalo lo mau. Jadi, gue bisa pastiin kalo gue bakalan dateng ke acara bubar nanti.”
“Lo bakalan nganter gue sampe rumah?”
“Iyalah. Ngebiarin cewek pulang malem sendirian itu nggak baik, lho!”
Aduh, gue ngelayang banget dia bilang gitu. “Oke deh, gue pilih solusi yang ke lima. Kalo lo dateng gue pasti dateng!”
“Bagus. Kalo lo dateng, gue juga pasti dateng!”
Nggak lama, Lisa sama Zulmi dateng.
“Jadi, lo bakalan ikut kan?” tanya Lisa dan Zulmi hampir berbarengan.
“Iya. Kalo Irfan dateng gue bakalan dateng!” jawab gue.
“Gue juga. Kalo Ira dateng, gue juga bakalan dateng!” kata Irfan.
“Wah, tumben!” sahut Lisa.
“Irfan bakalan nganter gue sampe rumah, jadi gue nggak usah khawatir buat pulangnya nanti,” jelas gue.
“Ah elu mah, kalo diajakin sama cewek aja mau!” sahut Zulmi.
Irfan cuma ketawa nanggepin Zulmi. Ketawanya itu loh, seolah-olah mengiyakan bahwa karena gue dia rela maksain dateng ke acara bubar padahal dia ada acara keluarga di waktu yang sama, itu yang bikin gue semakin kege-eran dan berpikir kalo dia juga suka sama gue.
Sampe di hari-H acara bubar, gue dateng telat di tempat acara karena faktor jarak dan macet. Kalo bulan puasa, tiap sore jalanan pasti macet karena banyak yang ngabuburit. Pas gue nyampe, temen-temen lagi giliran ke kamar mandi buat ngambil air wudlu.
“Ra, dasar tukang telat! Nih, takjilnya. Lo batalin dulu puasanya, terus solat!” kata Evie, panitia konsumsi.
Gue cuman bisa senyum dan nyari tempat duduk buat buka puasa dengan segelas pisang ijo yang pastinya bakalan seger banget.
Setelah baca doa, gue pun makan. “Wah, enak dan seger!”
“Gue kira lo nggak nepatin janji!” kata Irfan, yang tiba-tiba duduk di pinggir gue.
“Janji?”
“Iya, janji. Kalo lo dateng, gue juga dateng. Gue kira tadi lo nggak jadi dateng dan bikin gue nyesel dateng ke acara ini!”
“O ya? Jadi lo nyesel kalo gue nggak dateng ke sini?” goda gue sekaligus mencari kebenaran.
“Um... ya, maksud gue. Gue nyesel karena gue nggak jadi ikut ke acara keluarga gue buat dateng ke sini. Ah, gue solat magrib dulu, deh!” singkatnya, sambil pergi.
“Huft, selalu aja kayak gini!”
Setelah solat dan makan-makan, gue sama temen-temen sekelas berfoto ria sambil ngobrol-ngobrol. Karena takut kemalaman di jalan, akhirnya kita semua membubarkan diri dan ini akan menjadi perjalanan yang menyenangkan buat gue. Ini adalah malam pertama gue dibonceng sama cowok selain sama bokap dan adek gue. Selain itu, cowok yang ngebonceng gue adalah cowok yang gue suka selama dua tahun ini. Hm... senengnya! ^.^
Udara malam ini dingin banget, kirain nggak bakalan sedingin ini. Nyesel deh, dari rumah cuman bawa cardigan bukan jaket.
“Lo nggak bawa jaket?” tanya Irfan.
Gue menggeleng. “Nggak, tapi gue bawa ini!”
“Ah, itu tipis banget. Nih, pake ini!” Irfan mengeluarkan jaketnya dari kotak bagasi motornya.
“Wah, makasih ya!” Gue pun pake jaket yang baunya wangi parfum Irfan. “Anget banget! Eh, lo pake apa?”
“Gue kan, pake ini!” serunya, sambil memperlihatkan jaket kulitnya.
Setelah siap, kami pun berpamitan sama temen-temen dan memulai perjalanan.
“Wih gila, dingin banget!” kata gue.
“Tadi kan, abis ujan. Jadi udaranya kayak gini,” timpal Irfan.
“Bensin lo full nggak? Rumah gue kan, jauh!”
“Nggak, ntar di pom bensin depan gue isi.”
“Lo tahu rumah gue nggak?”
“Nggak tahu, tapi gue tahu daerahnya. Ntar kalo udah deket, lo kasih tau aja jalurnya ke mana!”
“Lo nggak nyesel nganterin gue, kan?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Bawel lu! Kalo lo ngajak ngobrol terus, gue nggak konsen merhatiin jalan.”
“Oh, maaf!” gue menciut dan langsung diem.
Sampe setengah perjalanan, Irfan ngisi bensin di pom yang jaraknya masih lumayan jauh dari rumah gue. Karena tanki bensinnya ada di bawah jok, gue terpaksa turun dan nunggu di bawah sinar lampu pom. Mata gue merah karena kena angin dan gue nggak pake helm. Alhasil tatapan mata gue jadi agak remang-remang. Yang gue tatap adalah Irfan yang wajahnya keliatan blur, lalu gue ngeliat sesuatu dari Irfan. Gue kucek-kucek mata gue dan melihat dengan jernih kalo Irfan senyum ke arah gue. Senyumannya itu bukan senyum yang biasa, senyum yang bikin gue melayang ke awan.
Setelah bensin terisi, kami pun meneruskan perjalanan dalam diam.
“Heh, kok, diem?” seru Irfan.
“Kan katanya kalo gue ngajak ngobrol terus, lo nggak bakalan konsen merhatiin jalan. Gue nggak mau kali, bikin malam ini jadi malam terakhir bagi kita!”
“Haha.. dangdut banget lo!”
“Yey, emang iya!”
“Hahaha.. Kenapa lo nggak minta jemput sama pacar aja?”
“Pacar? Pacar gue di Korea, nggak mungkin gue minta jemputan dia!”
“Dunia khayal!” goda Irfan.
“Biarin. Hey, nggak ada yang marah kan, kalo lo nganterin gue?”
“Nggak. Siapa?”
“Ya pacar lah, masa tukang parkir!”
“Hahaha.. nggak. Nggak ada yang berani marah dan ngelarang apa yang gue mau!”
“Serem banget!” desis gue.
“Apa?!”
“Nggak!”
Akhirnya setelah perjalanan yang terasa panjang, gue nyampe juga di depan rumah.
“Huft, akhirnya nyampe juga!”
“Jauh juga rumah lo, ya!”
“Iya, lewati lembah, sungai, pasar, jembatan, hutan, kota, sekolah, lapang, dan yang lainnya.” Gue buka jaket Irfan dan ngembaliin langsung. “Ini, pake dobel aja. Dingin banget tau! Nanti di jalan, lo jangan maen kebut-kebutan, jangan ngajak balapan sama angkot sini soalnya doi preman semua, kalo ada tikungan liat-liat, kalo ngantuk cepet parkir di tukang wedang jahe, pokoknya langsung pulang ke rumah!”
“Nyokap gue aja, nggak pernah kayak gini ke gue,” gumam Irfan yang sangat jelas terdengar.
“Gue nggak mau jadi saksi kalo misalnya terjadi apa-apa sama elu!”
“Ya jangan ngedoain gitu, lah!”
“Iya dong. Kalo udah nyampe, sms gue. Oke?”
“Oke. Kalo gitu, gue langsung pulang aja ya!”
“Nggak mau mampir dulu?”
“Nggak usah deh, udah malem.” Irfan ngebalikin motornya. “Gue pulang ya!”
“Iya. Makasih banget atas tumpangannya!”
“Yo!” Irfan pun meluncur.
Hm... meskipun nggak ada kejadian yang romantis di atas motor tadi, gue tetep seneng dan makin suka sama dia. Satu jam kemudian, gue pikir Irfan pasti udah nyampe di rumahnya. Tapi dia nggak ngesms gue. Karena takut kenapa-napa, gue ngesms duluan.
Ira : Irfan, lo udah nyampe rumah dengan selamat sentosa?
Lama nggak dibales, akhirnya dibales juga di menit ke-20.
Irfan : Alhamdulillah selamet..
Ira : Tanpa kekurangan suatu apapun? Kaki kurang sebelah mungkin ato tangan?
Irfan : (:DDDDDD) tak kurang sedikitpun.
Ira : Syukur deh, kalo gitu. Jangan kapok ya nganterin gue!
Irfan : Nggak bakalan.
Ira : Yang bener?
Irfan : Apapun bakalan gue lakuin buat lo :P
Gue melotot sambil terbang tinggi. “Hah? Yang bener? OMG! Yah, meskipun diakhiri dengan tanda menjulurkan lidah, gue berharap itu bener!”
Ira : So sweet... hha. Ya udah deh, met malem dan semoga mimpi indah.
Irfan : Ok, sama2. Bye
Ira : Bye^
Itu adalah awal gue makin deket sama dia. Di kelas, gue sering bercanda sama temen sebangku gue karena Lisa itu emang enak di ajak bercanda. Kadang-kadang Lisa marah-marah karena nggak tahan direcokin sama gue.
“Hua! Irfan, Lisa marahin gue!” adu gue, iseng.
“Heh Lisa, nggak bisa apa nggak ngegangguin Ira?” balas Irfan, tak disangka.
“Hah? Eh, Ira duluan tuh yang ngegangguin gue!” sewot Lisa.
Lagi-lagi, gue ngelayang karena dia. Terus, waktu Lisa lagi deket sama Arsyan dan Lisa juga suka bercanda sama Arsyan, Lisa suka ngeklaim kalo dia pacarnya Arsyan dan Arsyan pun nerima klaiman itu.
“Arsyan, beliin gue penggaris. Penggaris gue abis dimakan Ira!” goda Lisa, yang lagi kumat.
“Apapun akan aku lakukan buat Lisa seorang!” jawab Arsyan.
“Haha... Oh jadi gitu? Arsyan, sebenernya lo suka sama siapa? Lisa ato gue?” goda gue.
“Oh, iya. Ira juga deh!”
“Hey, demi siapa? Demi gue ato Ira?”
“Iya, demi Lisa.”
“Kalo gue?”
“Iya, demi Ira juga.”
“Ah, gue nggak terima!” sewot Lisa.
“Gue juga!” sewot gue, yang bener-bener gatel bercanda sama mereka.
“Ah, gue juga bingung! Pusing gue!” Arsyan garuk-garuk kepala. “Heh, Irfan! Lo sama Ira aja deh, tuh! Gue pusing kalo punya bini dua!” seru Arsyan ke Irfan, yang lagi cekikian ngeliatain tingkah 3 Idiots di hadapannya.
“Hhaha.. Hokeh!” jawab Irfan mengacungkan jempol.
Gue bener-bener ngarep kayak gitu! Terus, waktu gue lagi males keluar kelas buat jajan—sebenernya bukan males, tapi lagi tanggung ngerjain tugas. Hari itu, gue lagi pengen banget makan es mungil bermerk ‘Enak Coy’. Then, gue liat Irfan masuk kelas sambil makan es itu.
Gue natap sambil ngiler. “Mau...”
“Mau?” Irfan merogoh sakunya dan memberikanku satu es ‘Enak Coy’.
“Asiik!!”
Lisa natap gue, ngiler juga. “Gue juga mau, Irfan..”
“Sori, gue cuman beli dua!”
Bungkus es ‘Enak Coy’ itu gue awetkan di laci meja belajar gue. Kemudian, waktu Desri promosi payung di musim hujan gue melayang lagi. Kali ini bukan sama Irfan, tapi sama Lisa. Payung yang dipromosiin Desri lucu-lucu dan kebetulan gue sama Lisa lagi nggak punya payung yang praktis. Tapi sayang, Desri datang bersama payungnya di masa kritis keuangan.
“Lucu banget! Gue pengen, tapi nggak punya duit!” kata Lisa.
“Gue juga!” tambah gue.
Lisa kumat lagi. “Minta dibeliin sama Arsyan ah...”
“Elo sih, enak ada Arsyan. Nah, gue?”
“Lo kan, ada Irfan! Minta dibeliin aja sama dia!”
Irfan? Kok, bisa-bisanya dia ngusulin nama Irfan buat jadi dompet ke-2 gue? Siapa dia? Hm... btw gue seneng Lisa ngomong gitu.
Suatu hari entah kenapa dari jam istirahat gue cegukan terus menerus. Gue coba jalan-jalan terus minum di kantin tapi tetep cegukan itu nggak berhenti. Abis itu gue balik lagi ke kelas dan duduk di bangku.
“Haduh, berhenti dong!” geram gue.
Nggak lama, Irfan datang dan ngeliatin gue. Otomatis gue juga ngeliatin dia. Dia terus ngeliatin gue tapi nggak ngomong apa-apa. Ajaibnya cegukan gue langsung berhenti.
“Lho, kok, jadi berhenti?” bingung gue.
Irfan senyum. “Hm.. Makanya, jangan jauh-jauh dari gue kalo mau nggak cegukan!”
“Hah? Apa hubungannya cegukan sama jangan jauh-jauh dari dia?” kata gue dalem hati. Hati gue berbunga-bunga banget saat itu. “Gue janji nggak bakalan jauh-jauh dari lo!” seru gue yang dibales cengiran Irfan.
Lalu, waktu gue sakit di kelas. Tiap tahun, entah kenapa gue selalu ngalamin demam mendadak di sekolah. Demamnya juga nggak tanggung-tanggung, nyampe 39 . Gue cuman bisa tiduran sambil duduk di bangku. Selain Lisa dan temen-temen yang lain, Irfan jadi salah satu yang keliatan khawatir sama gue. Untuk kali ini, gue nggak kege-eran.
“Ra, lo pulang aja gih! Merah banget muka lu tuh!” tawar Dilla.
“Pulang? Nggak ah..”
“Iya, mendingan pulang aja. Gue anterin!” tawar Irfan.
Sebenernya gue mau, tapi gue lebih milih bertahan di sekolah karena gue takut nggak kuat panas-panasan di atas motor. Akhirnya, gue dibopong sama temen-temen buat minum obat dan tidur di UKS. Di UKS yang jagain gue, Lisa dan gantian sama Dilla. Setelah minum parasetamol, gue tidur.
“Dia udah baikan?”
Gue tahu persis kalo itu suara Irfan. Gue nggak bisa tidur nyenyak di tempat yang bukan kamar gue sendiri. Jadi yang gue lakukan hanyalah merem.
“Belum. Panasnya belum turun, tapi tadi udah minum obat, kok!” jawab Lisa, sambil megang kening gue.
“Duh, gimana sih! Nggak bisa apa, sekolah beli obat yang lebih manjur?!”
Gue cuman hanya bisa senyum setelah mendengar itu. Yang terakhir dan yang paling berkesan, waktu gue lagi capek-capeknya ngurusin karya tulis, sehabis UAS dan saat Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) sekolah. Waktu itu, gue nyerah nyari guru pembimbing buat minta tanda-tangan. Karena capek keliling sekolah, akhirnya gue masuk kelas dan duduk di salah satu bangku. Kebetulan, anak-anak cowok lagi pada ngumpul di kelas dan gue satu-satunya cewek yang ada di situ.
“Heh, Ra. Nggak takut apa sama kita?” sahut Nurdin.
“Gue nggak bakalan takut sama kalian!”
“Haduh, ini bini gue yang satu kenapa?” kata Arsyan, dengan otaknya yang lagi korsleting.
Gue yang tadinya loyo, langsung melotot. “Hah? Bini lo? Maksud?”
“Haha... Heh, Ira itu punya gue!” sentak Irfan ke Arsyan, sambil cekikikan.
Tadinya gue hampir ngemutilasi Arsyan, tapi nggak jadi karena Irfan. Tiba-tiba aja dia bilang ke Arsyan dan di hadapan temen-temen cowok lainnya, kalo gue punya dia. OMG! Gue serasa dipanah asmara sama Cupid yang menari-nari di atas kepala gue. Tapi sayangnya, Irfan bilang gitu sambil ketawa-ketiwi. Temen-temen juga nanggepinnya nggak serius. Mereka berpikir bahwa apa yang Irfan ucapkan adalah fiktif belaka. Gue juga berpikir kayak gitu.
Sebenernya Irfan itu suka nggak ya, sama gue? Kalo nggak suka kenapa dia suka bikin gue ngelayang dan berbunga-bunga? Kenapa dia kadang-kadang jadi yang lebih perhatian ke gue? Kapan sih, dia ngomong sesuatu yang bikin gue ngelayang tapi dalam keadaan yang serius? Kapan dia utarakan isi hati dan perasaannya ke gue?
Tapi kalo dipikir-pikir, gue lebih suka Irfan dan gue yang sekarang. Gue lebih suka Irfan yang suka ngomong sesuatu yang indah sambil bercanda dan cekikikan. Gue lebih suka Irfan yang tiba-tiba perhatian dan tiba-tiba biasa aja. Gue suka Irfan yang tulus tersenyum dan melakukan sesuatu untuk gue.
Gue juga suka sama diri gue yang seperti ini. Gue yang selama 2 tahun ini menyukai Irfan secara diam-diam. Gue yang suka bercanda sama Irfan dan bisa memancingnya untuk menunjukkan sosok Irfan yang apa adanya. Gue yang kadang-kadang manja ke Irfan. Gue yang selalu bingung apakah Irfan suka atau nggak.
Selain itu, gue juga suka hubungan gue sama Irfan yang seperti ini. Hubungan pertemanan yang terlihat indah daripada pacaran. Hubungan yang membuat kita bisa saling terbuka satu sama lain. Hubungan yang fleksibel dan tak terikat seperti ini. Hubungan yang lebih mengutamakan solidaritas dibanding yang lainnya.
Nggak kebayang kalo gue sama Irfan pacaran bakalan kayak gimana. Tapi takdir bisa saja membuatnya terwujud. Yang terpenting untuk sekarang ini adalah let it flow—membiarkannya mengalir. Gue percaya, semuanya bakalan indah pada waktunya. Jadi siap-siap aja buat menghadapi kejutan di akhir cerita.
“Irfan, thank’s for everything. You give me a spirit of love that makes me feel so strong and happy everyday. Thank’s to be my secret love for this moment.”
~ the end ~

Rabu, 15 Desember 2010

I'm So Sorry but I Love You


Big Bang Fiction :
Inspired by Lies


“Hey! Berhenti!”
Pria itu tak menghentikan larinya. Semakin dikejar dan diteriaki, semakin kencang larinya. Dengan nafas yang hampir habis, dia berusaha berlari lebih cepat dan mencoba mengelabui gerombolan pria berseragam yang sedari tadi mengejarnya. Saat dia melihat tikungan tajam, dengan cepat dia membelokkan tubuhnya dan masuk ke box telepon umum.
“H....h...h...,” pria itu mengatur nafasnya, sebelum mengangkat gagang telepon dan menekan angka.
“DRRRRTTT .. DRRRTT..”
Dengan panik, wanita cantik itu mengeluarkan segala isi tasnya dan meraih ponsel yang sedari tadi bergetar. Panggilan tanpa nama, membuatnya gugup untuk mengangkatnya. Perlahan, dia tekan tombol hijau.
“Halo?”
Tak ada jawaban bahkan suara. Tapi, telepon masih tersambung.
“Halo? Halo?” wanita itu menghela nafas berat dan akhirnya memutuskan sambungan.
Pria itu langsung diseret oleh segerombolan yang mengejarnya tadi. Telepon yang ada di tangannya langsung terlepas begitu saja. Saat keluar dari box telepon, pria itu langsung diborgol dan dibawa paksa ke dalam mobil dinas. Kali ini, dia pasrah dan tidak berontak. Mungkin, inilah bukti pengorbanannya pada seseorang yang sangat dia cintai.
Setelah mendapat telepon yang tak jelas itu, wanita itu semakin stress dan tak bisa berdiam diri di kamar hotelnya. Karena tidak tahan dengan berbagai pikiran yang seakan membunuhnya, dia pun keluar untuk mencari udara segar. Meskipun raganya berjalan, tapi pikirannya tidak. Pikirannya masih tertuju pada suatu kejadian yang membuatnya pindah dari rumah dan menyewa hotel di pinggiran kota. Suatu kejadian yang membuat hidupnya yang berantakan semakin berantakan.
Sampai di basement, dia masuk ke dalam Volkswagen klasiknya dan kembali terdiam. Tak ada ide sama sekali untuk menghabiskan waktu sore yang seakan menyesakkan ini. Tanpa arah dan tujuan, akhirnya dia memacu mobilnya keluar dari hotel dan berkeliling mengelilingi kota.
Saat menemukan swalayan, dia pun turun dan mencoba mengalihkan pikiran dengan berbelanja. Dengan troli yang kosong, dia terus berkeliling swalayan hingga membuat para pelayan curiga dengan tingkahnya. Menyadari hal itu, dia pun langsung memasuk-masukkan barang-barang yang dia lihat ke dalam troli—meskipun dia tidak membutuhkan barang itu sama sekali. Setelah selesai, dia pun membayarnya di kassa dan pergi.
Kembali, dia berkeliling mengitari kota hingga hari semakin larut. Pandangannya tertuju pada sebuah diskotik. Mungkin, dengan minuman dia dapat melupakan kejadian itu. Setelah memarkirkan mobilnya, dia pun masuk ke dalam diskotik dan memesan minuman keras dengan kadar alkohol yang tinggi.
“Seorang pembunuh berhasil di tangkap oleh tim gabungan dari Kepolisian Shibuya. Terdakwa berinisial G-D terpergok tengah membuang mayat ke tempat sampah oleh salah seorang warga setempat. Warga itu pun langsung melaporkannya ke polisi dan para polisi bergerak cepat menangkapnya. Setelah diotopsi, pihak penyidik menemukan luka benda tumpul di tengkorak korban yang berhasil memecahkan otak kecilnya. Korban pun tewas seketika. Setelah ditangkap dan diinterogasi, terdakwa ternyata mengakui bahwa dialah pembunuhnya sehingga memudahkan pihak kepolisian dalam penyelidikan. Kasus ini dengan segera akan diajukan ke pengadilan. Sekian, kilas berita bersama saya, Koda Tanaka.”
Berita itu disiarkan oleh stasiun TV nasional yang mengudara ke seluruh penjuru negeri Sakura. Berita itu langsung menjadi headline dan kabar yang paling up to date. Setelah dikeluarkan dari kantor Kepolisian Shibuya, G-D yang telah berseragam tahanan segera digiring ke mobil tahanan untuk dimasukkan ke rumah tahanan Shibuya. Blitz kamera dari puluhan wartawan segera membanjiri rombongan tahanan. Berbagai pertanyaan yang saling menghujam bertubi-tubi, tapi G-D tetap bungkam. Wajahnya berhasil diabadikan para wartawan.
Sudah sepuluh gelas licin tandas dari hadapan wanita itu. Meskipun sudah sebanyak itu, entah kenapa dia masih tetap terjaga. Pikirannya mengenai kejadian itu semakin menghantui. Di lantai dansa, dia menggerakkan tubuhnya dengan sempoyongan tapi pikirannya masih fokus dalam kejadian itu. Dirinya sama sekali tidak larut dalam suasana diskotik.
Karena tidak ada yang dapat dilakukannya lagi, tanpa menunggu lama dia segera keluar dari diskotik dan mengemudikan mobilnya. Mungkin, dengan mengemudi selagi mabuk dapat mempermudahnya untuk melupakan segala-galanya. Namun entah mengapa, jalanan tertib sekali malam ini. Dia pun pasrah dan merelakan pikirannya tetap tertuju pada kejadian itu. Beberapa lama kemudian, dia menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah kecil yang hanya diterangi lampu ruang tengah yang mulai remang.
Dahulu, rumah ini adalah rumah yang penuh kebahagiaan dan cinta. Dia bersama seseorang yang ia cintai, merajut kisah kasih indah di dalam rumah ini. Tapi, itu dahulu. Bukan sekarang. Sekarang, rumah ini bagaikan rumah kosong yang berantakan dan berhantu.
Lelaki yang ia cintai itu mulai berkelakuan aneh saat menginjak tahun yang kedua mahligai rumah tangganya. Lelaki itu sering pulang malam dalam keadaan mabuk. Atasannya pun dengan mudahnya memecat lelaki itu dengan alasan ketidakdisiplinan. Persediaan uang yang ada, selalu dia hamburkan untuk berjudi dan mabuk.
“SUDAHLAH! CARI PEKERJAAN BARU! JANGAN SEPERTI INI LAGI !” seru wanita itu, saat mendapati suaminya pulang dalam keadaan mabuk.
“KAMU TIDAK TAHU APA-APA! TAK USAH MENGATURKU!!” balas lelaki itu lebih emosi.
“Aku sudah tidak tahan melihatmu seperti ini! Selalu menghambur-hamburkan uang dan pulang seperti ini! SAMPAI KAPAN? SAMPAI KAPAN?!!”
“AAAHH DASAR KAU !!”
‘PLAK!’
Tamparan itu berhasil memanasi pipi kiri wanita itu sampai dia tersungkur di lantai. Tamparan pertama yang berhasil meremukkan hatinya dan menghapuskan rasa cintanya selama ini. Tak sampai di situ, lelaki itu dengan emosinya kembali menampar istrinya di pipi kanannya, lalu menjambak rambutnya. Darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Sambil menangis dan meringis kesakitan, dia memohon pada sumianya untuk menghentikan kekerasan ini. Setelah puas, lelaki itu pun menghempaskan istrinya di lantai dan masuk ke dalam kamar.
Kekerasan itu berlangsung pada malam-malam selanjutnya. Pernikahannya benar-benar menjadi mimpi buruk. Sampai akhirnya, wanita itu bertemu dengan seorang penjaja koran pagi. Penjaja koran pagi itu, satu-satunya pihak luar yang mengetahui kekerasan rumah tangganya. Karena hanya dialah lelaki yang mau mendengarkan apa yang dia rasakan. Hanya lelaki itu yang menghangatkan hatinya yang mulai dingin.
“Berikan aku uang!”
Wanita itu melihat suaminya yang lagi-lagi seperti itu. “Tidak ada.”
“APA KAU BILANG?!”
“SUDAH TIDAK ADA UANG! UANG INI HANYA UNTUK MEMBAYAR SEWA RUMAH!”
“SUDAH BERIKAN SAJA!”
Lelaki itu pun merebut dompet istrinya dan menampar istrinya lagi. Rasa sakit yang selalu dia dapatkan darinya. Setelah mendapatkan yang ia inginkan, dia pun pergi entah kemana. Sambil menangis, wanita itu memegang pipi bekas tamparannya. Tak lama, seseorang datang dari balik pintu. Orang itu, G-D –Sang Penjaja Koran.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya, dengan keadaan panik sekaligus prihatin.
Wanita itu menatap G-D dan memeluknya. “Aku... aku sudah tidak tahan lagi. Bawa aku pergi dari sini. Kumohon!”
G-D tak dapat memungkiri perasaannya, yang memang benar-benar mencintai seorang wanita yang telah bersuami. “Besok sore, saat suamimu tak ada di rumah, aku akan membawamu pergi sejauh yang kau mau.”
Wanita itu menatap G-D, dalam. “Sungguh?”
G-D mengangguk pasti.
Keesokan harinya, saat dia sedang bersiap-siap untuk pergi tak disangka-sangka suaminya pulang lebih awal. Dia menatap istrinya yang sudah cantik dengan barang-barang yang beres dikemas, dia pun kembali berang. Dia sudah mencium bahwa istrinya akan pergi meninggalkannya.
“MAU PERGI KE MANA KAU?!”
Karena tak dapat mengelak lagi, wanita itu pun menjawab. “PERGI DARI HADAPANMU!”
“DASAR ISTRI TIDAK TAHU DIRI !!”
‘PLAK!!’
Lagi-lagi, pukulan demi pukulan dia hantamkan pada makhluk lemah di hadapnnya. Sekuat apapun wanita itu memberontak, tetap saja tenaganya tak dapat menandingi kekuatan suaminya. Kepalanya mulai pening dan darah keluar dari mana-mana. Perlahan, lengannya meraih seseuatu. Sesuatu yang ada di atas meja kecantikan—tak jauh dari ranjang tempatnya disiksa.
Setelah meraih sebuah vas bunga dari tanah liat, dia pun segera mengehempaskannya pada kepala suaminya—membuat suaminya berhenti menyiksa. Saat-saat itu, dia manfaatkan untuk terlepas dan berbalik menjatuhkan suaminya ke atas lantai. Saat suaminya tersungkur, dengan membabi buta dia memukulkan berkali-kali vas bunga itu ke atas kepala suaminya sampai vas benar-benar hancur dan suaminya tak bergerak sedikitpun.
Kini darah mengalir bukan dari tubuhnya, melainkan dari tubuh suaminya yang tergeletak di atas lantai. Apa yang dia lakukan benar-benar di luar kesadarannya.
Seseorang membuka pintu dan mendapati wanita berwajah lebam sedang duduk lemah di hadapan mayat suaminya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya G-D panik.
Wanita itu tak menjawab.
Dengan segera, G-D masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Setelah lama berpikir, dia pun mengangkat wanita yang terduduk di lantai itu dan menariknya keluar dari ruangan.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya wanita itu.
“Aku akan mengurus mayatnya. Kamu pergilah!”
“Tidak! Aku tidak akan pergi meninggalkanmu di sini!”
G-D menatap wanita yang ia cintai, lalu mengecup dahinya. “Aku mencintaimu. Aku tidak akan membuatmu menderita lagi. Kumohon, pergilah!”
“Tapi...”
Terpaksa, G-D pun menyeretnya keluar ruangan dan menutup pintu rapat. Keputusannya melakukan langkah ini sudah bulat dan tidak dapat diganggu lagi. Dia mengambil darah mayat lelaki itu dan mengoleskannya ke seluruh kaos utih yang ia kenakan, begitu juga ke wajah, tangan, dan lehernya. Setelah itu, dia mengurus mayatnya.
Kejadian itulah yang sedari tadi berputar di benak wanita itu. Di kamar utama itu, tempatnya dia menjadi seorang pembunuh. Perlahan, dia membuka daun pintu dan melihat mayat sudah tidak ada di tempat. Darah yang seharusnya berserakan pun, kini sudah tidak nampak. Tapi, di lantai terdapat gambar siluet yang menggambarkan dengan detil posisi mayat saat ditemukan.
“Apa maksudnya? Apa jangan-jangan....Akh!”
Dengan cepat, dia berlari keluar dari rumah dan mengendarai mobilnya kembali. Saat di perempatan, televisi besar yang terpampang tengah menayangkan berita pembunuhan dan wajah pembunuh itu terlihat jelas. Dia adalah G-D.
“Akh! Apa dia mengorbankan dirinya demi aku? Jadi, ini yang dia lakukan setelah menyuruhku pergi?”
Dengan cepat, dia memutar stir dan memacu gasnya ke penjara kota Shibuya. Sesampainya di dalam penjara, dengan segera dia meminta petugas untuk mempertemukannya dengan G-D. Setelah mendapat izin, dia pun diperbolehkan masuk ke dalam ruangan sepi. Ruangan yang mana hanya dibatasi oleh kaca tebal yang berlubang kecil. Di sana, dia melihat G-D berdiri dengan seragam tahanan.
Hatinya benar-benar terenyuh. Sambil menangis, dia maju mendekati G-D. Kini, mereka berdua berdiri berhadapan. Tangan mereka saling bertemu di atas dinding kaca.
“Apa yang kau lakukan?” tanya wanita itu.
“Aku, aku hanya ingin membuatmu tidak menderita lagi,” kata G-D lembut.
“Apa yang kau lakukan saat ini, malah semakin membuatku menderita. Aku tidak ingin melihat seseorang yang aku cintai, berkorban demi seorang pembunuh sepertiku!”
“Sssttt.. jangan bicara itu terlalu keras!”
“Tidak. Aku akan menyerahkan diri ke polisi sekarang juga!”
“Tunggu! Jangan!” henti G-D. “Jangan pernah kau lakukan itu!”
“Kenapa? Akulah yang pantas berada di tempatmu sekarang!”
“Karena aku mencintaimu! Aku menyesal, tapi aku mencintaimu. Jika kau tetap melakukan itu, sampai kapanpun aku tidak akan memaafkanmu!” ancam G-D, akhirnya.
Wanita itu semakin menangisi kebodohannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia temukan seseorang yang mencintainya dengan tulus sampai mengorbankan seluruh hidup dan masa depannya seperti ini.
“Dengar, semua ini akan berlalu. Everything is gonna be alright, isn’t it? Tunggulah aku sampai aku keluar dari tempat ini.”
“Sampai kapanpun aku akan tetap menunggumu. Selama apapun kau ada di sini, cintaku padamu tidak akan pernah berubah.”
G-D tersenyum, “Aku mencintaimu.”
Wanita itu menunduk. “Aku pun mencintaimu.”
Tak lama, seorang petugas datang dan memberitahukan wanita itu untuk pergi karena waktu berkunjung sudah habis. Malam itu, mereka berpisah di antara dinding kaca tebal. Entah berapa lama G-D akan berada di tempat itu. Selama apapun itu, Naomi akan selalu menunggu dan menanti kedatangan G-D kembali.
~ the end ~

Kamis, 09 Desember 2010

Pak, I Love You !


Semua warga SMA Merdeka berduka, setelah kepergian Risman Budiman—guru mata pelajaran Olahraga, akibat serangan jantung. Beliau adalah guru olahraga yang sangat baik. Tidak pernah memaksakan anak didiknya untuk mengikuti mata pelajarannya. Meskipun hal itu kadang dimanfaatkan oleh sebagian siswa yang malas berolahraga.

Namun, dalam waktu 2 minggu, Kepala Sekolah sudah mendapatkan orang yang pantas untuk menggantikan almarhum. Guru Olahraga baru itu adalah alumni dari SMA Merdeka sendiri. Dia fresh graduated dari salah satu Universitas negeri keguruan di Bandung, jurusan Pendidikan Olahraga.

“Wah, guru olahraga baru itu kayak gimana, ya?” tanya Lusi, pada segerombol teman-teman kelasnya.

“Mudah-mudahan aja cakep!” seru Cinta, dengan nada centilnya.

Perbincangan itu tidak menarik bagi Yuna, yang tidak menyukai pelajaran olahraga. Satu-satunya olahraga yang dia kuasai adalah lari. Karena, Yuna adalah salah satu siswa yang sering kesiangan. Maka, keahlian alaminya adalah berlari kencang.

“Hm, mudah-mudahan aja baik kayak Pak Risman!” doa Yuna, dalam hati.

Saat istirahat, semua siswa—khususnya siswi SMA Merdeka, heboh akan kedatangan guru baru yang mulai mengajar pada hari ini.

“Woi! Guru baru itu cakep banget!” teriak Cinta. “Lihat deh, di luar!”

Semua siswi yang sedang ngobrol sambil makan di kelas, langsung berhamburan keluar mengikuti Cinta. Sedangkan Yuna, dia malah membawa sapu dan pengki, lalu menyapukan tanah dari sepatunya di bawah bangkunya. Setelah semua tanah dia masukan ke dalam pengki, dia pun keluar kelas untuk membuangnya ke tempat sampah.

“Permisi!” teriak Yuna, pada Lusi dan Indah yang memblokade jalan sambil menatap ke koridor.

Mereka berdua pun menyingkir. Dengan santai, Yuna pun keluar dan memasukkan tanah dari dalam pengki ke dalam tempat sampah. Pada saat yang bersamaan, guru baru itu sedang berjalan di daerah koridor kelas Yuna. Yuna yang tidak melihatnya, melangkah menuju ke dalam kelasnya.

“Yuna, awas!” teriak Indah.

‘Buk!’

Yuna bertubrukan dengan seseorang. Mereka berdua berhenti, dan saling bertatapan. Lima detik kemudian, lelaki itu kembali berjalan sambil menatap Yuna yang terpaku. Tatapan itu, diakhiri oleh senyum tipis yang memperlihatkan lesung pipitnya. Bagaikan terpanah oleh panah Dewa Amor. Tapi tak lama, Yuna pun kembali sadar.

Saat dia hendak masuk ke dalam kelas, pintu masuk diblokade bukan hanya oleh Lusi dan Indah, melainkan oleh Cinta, Rita, Tiara, Wini, Frisca, dan Lili. Mereka semua berkacak pinggang dengan mata yang melotot dan mulut yang lancip.

“Hah? Kenapa?” tanya Yuna, bingung.

“Kamu pasti jatuh cinta sama dia!” desis Tiara.

Yuna terhentak. “Jatuh cinta? Baru segitu doang, udah dibilang jatuh cinta. Aneh!”

Mereka semua pun akhirnya bernafas lega dan kembali masuk ke dalam kelas. Yuna tak habis pikir akan tingkah teman-temannya yang menggilai guru baru itu. Memang sih, dia itu cakep banget! Kulitnya cokelat, matanya tajam tapi menyejukkan, rambutnya hitam lurus, dan yang paling membuatnya sempurna adalah lesung pipit yang akan muncul saat dia melemparkan senyuman mautnya.

Pada saat jam pelajaran olahraga, semua siswa—terutama siswi langsung berganti seragam dengan seragam olahraga berwarna biru putih. Hari ini, semuanya sangat bersemangat mengikuti pelajaran olahraga. Selain gurunya yang baru dan cakep, mereka pun ingin memberikan kesan pertama yang baik bagi gurunya itu. Setelah selesai berganti pakaian, mereka semua berbaris rapi di lapangan. Tak lama, guru baru itu datang dengan stelan olehraganya serta kalungan peluit di lehernya.

“Selamat pagi!” serunya bersemangat.

“Selamat pagi!” balas murid, tak kalah semangat.

“Perkenalkan, nama saya Wisnu Herdiansyah. Kalian bisa panggil saya Pak Wisnu, atau Pak Herdi. Seperti yang telah diketahui, saya akan mengajarkan kalian olahraga. Selain otak kalian yang harus sehat, jasmani kalian pun harus sehat. Maka dari itu, kalian wajib mengikuti pelajaran saya, kecuali memang benar-benar sakit. Ingat, saya bisa membedakan mana yang sakit pura-pura dan mana yang sakit sungguhan!” gelegarnya.

“Kalau sama Bapak, aku bakalan rajin olahraga!” bisik Cinta, yang di dengar oleh para siswi barisan belakang.

“Dalam berolahraga pun, kalian harus total! Tidak boleh ada yang hanya ikut-ikutan bergerak. Kalian wajib berkeringat! Jika ada yang sakit dan tidak mengikuti pelajaran saya, maka izin hanya berlaku dua kali. Jika ada yang izin lebih dari dua kali, maka saya tidak akan memberikan nilai pada kalian!” tambahnya.

Ini, merupakan ancaman besar bagi Yuna. “Menyebalkan!” katanya, dalam hati.

“Ada yang ingin ditanyakan?” tanya Wisnu.

“Umur Bapak berapa tahun?” tanya seseorang.

“Umur saya duapuluh satu tahun. Pertanyaan yang tidak penting. Baiklah, sekarang saya akan mengabsen nama kalian. Setelah itu, kita mulai!” kata Wisnu.

Wisnu pun mengabsen 42 siswa dengan tertib. Setelah itu, merapikan barisan dan memulai pemanasan. Dari mulai lari keliling lapangan, berlari di tempat, berjalan di udara, gerakan kombinasi, push up, sit up, dan peregangan. Baru pemanasan aja,semuanya sudah berkeringat dan ngos-ngosan. Selesai pemanasan, Wisnu membawa 2 bola basket kemudian dibagikan ke siswa dan siswi. Dia pun membagi 2 lapangan. Sisi barat untuk putri dan sisi timur untuk putra.

“Satu persatu dari kalian harus bisa melakukan tembakan ke dalam ring. Terus sampai bisa. Jika sudah memasukan tiga bola, kalian bisa kembali ke kelas dan istirahat. Tapi jika belum masuk, kalian harus tetap di sini dan terus mencoba memasukan bola hingga masuk. Mengerti?”

“Mengerti!”

“Baiklah,” Wisnu meletakkan peluitnya ke dalam mulut. ‘PRIIIT!!’

Satu per satu dari 42 siswa itu mencoba memasukkan bola ke dalam keranjang. Pekerjaan yang mudah bagi para putra, yang pada umumnya menyukai olahraga. Dalam 15 menit, para putra selesai memasukkan 3 bola ke dalam keranjang. Mereka pun langsung meluncur ke kantin, untuk menikmati jam istirahat ke-2.

Sedangkan para putri, mereka sedikit kesulitan memasukan bola. Tapi tidak bagi siswi yang menyukai olahraga, seperti Desi dan Milda. Satu persatu, para siswi berhasil memasukkan bola sebanyak 3 kali ke dalam keranjang, kecuali Yuna. Hingga akhirnya, tersisa Yuna seorang di lapangan.

“Ayo, berjuang Yuna!” teriak sahabat-sahabatnya, seraya meninggalkannya di lapangan dan pergi ke kantin.

“Huh, dasar! Menyemangati, tapi malah ninggalin!” camnya dalam hati.

Dengan hati yang jengkel, karena tidak satu pun angka yang dia cetak, dia pun semakin kalang kabut memasukan bola. Hingga dia tidak fokus dan bola pun meluncur kemana-mana.

“Yang bener, dong!” teriak Wisnu, yang sedari tadi memanasi telinga Yuna. “Masa kalah sama yang lain?”

“Huh! Dasar!” pekiknya dalam hati.

Sampai Yuna bermandikan keringat, tak satu pun bola yang ia lempar masuk ke dalam keranjang. Hingga akhirnya, dia berhenti. Wisnu pun mendekatinya, sambil tak henti memakinya.

“Kamu itu gimana, sih?! Selama ini kamu belajar apa, huh? Sudah kelas tiga SMA, tidak bisa memasukan angka sekali pun. Payah!”

Ternyata guru ganteng ini, berlidah tajam. Kalau sudah begini, tidak membuat Yuna segan pada guru yang umurnya hanya berselang 4 tahun ini.

“Saya tidak suka olahraga, Pak!” balas Yuna, menggelegar. “Satu-satunya yang saya bisa cuman lari.”

“Berani, ya, kamu ngomong gitu!” Wisnu semakin geli ingin terus memarahinya.

“Kalau saya nggak mampu, kenapa harus bilang mampu?!” balas Yuna, yang sudah naik pitam seraya melemparkan bola basket ke arah Wisnu.

Dalam satu kali tangkapan, Wisnu menangkap bola itu lalu melemparkannya ke dalam keranjang—di belakang Yuna. Dengan mudahnya, bola itu masuk. Hal itu, seakan-akan Wisnu merendahkan Yuna. Mereka berdua saling bertatapan tajam. Hari ini, mereka resmi menjadi musuh.

Tak lama, bel pun berbunyi. Akhirnya, Yuna bisa keluar dari lapangan dengan aman. Saat dia keluar, sesuatu telah dia tinggalkan di lapangan. Sesuatu itu tertinggal dalam hati Wisnu.

Keesokan harinya, seperti biasa, Yuna kesiangan. Membuatnya berlari dari tempatnya turun dari angkutan kota menuju gerbang sekolah. Jam 07.15, gerbang sudah sepi. Sambil terengah-engah, Yuna berhadapan dengan satpam yang melotot sambil geleng-geleng.

“Bapak sampai hafal nama kamu, Yuna!” kata Pak Dadang.

Setelah berhadapan Pak Dadang, Yuna harus berjuang mengahadapi guru yang sedang berjaga di ruang piket, agar diizinkan masuk ke dalam kelas. Sialnya, guru yang sedang berjaga di ruang piket bukanlah guru yang sering memberikannya izin masuk kelas seperti hari biasanya. Guru itu adalah Wisnu Herdiansyah.

Sambil tersenyum, Wisnu menanti kedatangan Yuna di meja piket seolah-olah siap melahapnya.

“Kamu tahu ini jam berapa?” tanya Wisnu.

“Saya tidak punya jam tangan, Pak. Kalau bawa jam dinding, nggak muat di tasnya!” balas Yuna.

Wisnu merasa dirinya dipermainkan. Karena wataknya yang mudah meledak, dia pun geram. “Kalau begitu, kau tidak boleh masuk kelas!”

“Kenapa, Pak? Biasanya aku masuk jam segini, kok! Walaupun saya kesiangan, tapi Pak Arif yang biasanya jaga piket selalu mengizinkan saya masuk kelas.”

“Itu Pak Arif. Bukan saya!” Lalu, Wisnu mengambil selembaran di meja piket, kemudian memperlihatkannya. “Lihat poin nomor satu!”

1. Kegiatan belajar-mengajar dimulai pukul 07.00 WIB. Di luar itu, siswa yang kesiangan diharuskan menunggu setelah jam pelajaran pertama berakhir, lalu diperbolehkan masuk kelas.

“Mengerti?” tanya Wisnu, mematikan Yuna.

Terpaksa, Yuna pun masuk ke dalam ruang piket dan duduk di salah satu kursi. Karena tidak ada kerjaan, dia pun mengeluarkan buku dan pensilnya, lalu mengerjakan PR Bahasa Indonesia yang belum selesai. Ada hikmahnya juga tidak masuk kelas. Selain bisa trhindar dari Matematika, dia pun bisa mengerjakan PR pelajaran selanjutnya yang belum selesai.

“Hm, pelajar yang tidak patut dicontoh!”

“Hm, seperti mantan siswa teladan saja!”

“Awas kau!” kecam Wisnu dalam hati.

Saat pelajaran olahraga pertemuan ke-2, Wisnu habis-habisan mengajarkan voli di gor. Olahraga kali ini, terkesan berubah menjadi latihan militer. Teman-teman Yuna, yang tadinya mengidolakan Wisnu habis-habisan, kini malah jadi illfeel. Sebenarnya, sasaran utama Wisnu adalah Yuna. Satu-satunya murid yang membuatnya jengkel, sekaligus bahagia.

Tapi kali ini, Wisnu terlalu berlebihan. Hingga akhirnya...

“YUNA!!” teriak semua siswa, saat Yuna yang terlihat pucat tergeletak di lantai gor.

Tanpa menunggu perintah, Wisnu pun segera mengangkat Yuna dan membawanya ke ruang UKS. Kegiatan olahraga diakhiri dengan insiden yang tak diduga-duga. Untungnya, kejadian ini tidak sampai ke telinga guru-guru lain dan kepala sekolah.

Petugas UKS, yang pada umumnya adalah anggota PMR SMA Merdeka tidak ada yang menjaga di UKS, jadi Wisnu sendiri yang mengurus Yuna. Untungnya, dia juga belajar P3K di jurusan olahraga. Wajah Yuna memang pucat. Badannya pun dingin. Wisnu pun menyelimuti tubuh Yuna dengan selimut agar tubuhnya menghangat. Kemudian, membuatkan teh manis hangat.

15 menit kemudian, Yuna pun sadar. Perlahan, Wisnu membantu Yuna untuk duduk di atas ranjang. Yuna yang baru sadar, dibuat bingung oleh tingkahnya yang berubah menjadi perhatian.

“Ini minum dulu!” Wisnu menyodorkan segelas teh manis hangat, untuk menaikan gula darah Yuna.

Yuna pun meminumnya dan merasakan air itu mengalir hangat di tenggorokkannya. “Terimakasih,” katanya, ragu.

Kali ini, Wisnu dapat menurunkan gengsi dan egonya. “Maafkan saya. Saya sudah keterlaluan padamu!”

Yuna menatap aneh. “Bukan sama saya aja, Pak. Tapi sama temen-temen juga!”

“Iya, saya minta maaf! Lain kali, saya akan lebih memperhatikan kondisi fisik kalian semua.”

Yuna pun mengangguk. “Maafkan saya juga. Karena akhir-akhir ini, saya kurang ajar sama bapak!”

“Iya, tidak apa-apa. Saya sudah menganggap kamu, seperti adik saya sendiri.”

Mereka berdua akhirnya berdamai.

“Uhh!!! Dasar Yuna! Hobinya bikin sirik orang aja!” geram semua siswi yang mengintip di balik jendela UKS yang terbuka lebar.

Sepulang sekolah, Yuna dikejutkan oleh seseorang yang memberhentikan motornya di depan Yuna. Seseorang itu berpakaian training dan berhelm hitam. Kaca helm itu terbuka dan terlihat sepasang mata tajam yang menyejukkan.

“Pulang ke mana?” katanya.

“Ke rumah,” jawab Yuna, polos.

“Rumahmu di mana?”

“Ke daerah Patriot.”

“Ayo naik, saya antarkan!”

Kejadian itu terjadi beberapa blok dari area sekolah. Sambil menyelam minum air, tiarap makan rumput, Yuna pun mengikuti ajakan Wisnu. Ini, adalah awal dari perdamaian mereka. Mereka membiarkan hal ini terjadi dan mengalir dengan sendirinya. Tanpa sadar, membuat bibit cinta bertaburan di dalam ladang hati mereka. Terus mereka sirami dan hangati, hingga akhirnya berbunga cinta.

Tapi mereka sadar, status guru dan murid membuatnya lebih menjaga diri. Yang jelas, Yuna berhasil membuat iri ratusan fans Wisnu se-SMA Merdeka, yang mengetahui perasaan mereka berdua. Sebenarnya, hal itu dirahasiakan. Tapi, keduanya tidak dapat membohongi mata-mata itu.

Seperti saat ini, selesai pelajaran olahraga, Wisnu sengaja membelikan minuman untuk Yuna. Dengan mata yang penuh rasa iri, Cinta dan Lusi memperhatikannya dari jauh. Melihatnya, membuat Yuna jadi geli dan gatal untuk membuat mereka patah hati. Saat Wisnu beranjak, Yuna berteriak lembut, tapi dapat didengar oleh yang menguping.

“Pak, I love you!”

Wisnu berbailk. “I love you too!” balasnya, dengan senyuman mautnya.

Cinta dan Lusi saling bertatapan sedih. “HUAAAA!!!!”

Yuna dan Wisnu terkekeh, melihat tingkah Cinta dan Lusi.

~ the end ~